(Ami mendapat kejutan. Firdaus, lelaki dari masa lalunya datang kembali membuka luka yang belum kering. Sementara Giri juga semakin membuat Ami sport jantung karena datang lebih cepat dari yang janjinya).
Apa yang harus kulakukan? Semuanya jadi kacau diluar perkiraan. Giri yang seharusnya datang jam 7 malam, tiba-tiba nongol jam 9 pagi. Hancur deh semuanya. Aku belum siap ketemu. Selain rambutku yang super berantakan, aku juga belum siap mental. Memang sih waktu tadi aku telepon Toma, dia bilang Giri tidak melihat perempuan dari penampilan luar nya saja, tapi aku kan mesti curhat dulu sama sohibku bagaimana cara menghadapi si Giri itu itu, eh belum apa-apa dia sudah datang. Mampus deh.
Selain aku tidak percaya diri, tau nggak sih kalau ini jam-jam kantor paling rame? Kalo aku suruh dia masuk, waaaaah…seisi kantor bisa berubah jadi suasana konser musik rock dengan teriakan-teriakan shock karena melihatku bersama seorang cowok. Oh My God !
“To, sini…!!!” rasa ingin tahuku tentang fisik cowok itu terlintas saat office boy favorit kantor lewat di depan mejaku. “To, tolong dong, kamu lihat cowok yang pake mobil sedan hitam didepan. Tolong perhatiin, kaya gimana sih orangnya? Tapi jangan ribut ya? Cepet !” pintaku mewanti-wanti.
Tak lama kemudian Yanto kembalii, “Mbak, orangnya pake baju item, tinggi, cakep deh pokonya, he he he he, pacarnya mbak ami ya?” Yanto menggodaku setelah memberitahuku seperti apa cowok yang akan kutemui. “Pacar gundulmu? Kalo pacar ngapain aku suruh kamu ngeliat ke depan. Udah ah ! Eh, tapi..makasih ya To…” kataku sambil menyelipkan selembar rupiah ke tangan Yanto.
“Nggak usah mbak” Yanto menolak. Aku tetap bersikeras memaksa Yanto untuk menerimanya, “Buat beli rokok. Kalo kamu nggak mau nanti aku nggak mau minta bantuan kamu lagi lho.” Ancamku.
“Yo wis. Makasih ya mbak”. Dengan malu-malu anto pergi meninggalkan aku yang juga beranjak meninggalkan meja kerja dengan enggan karena rasa ragu-ragu dan hati yang deg-degan. Sumpah ! deg-degan banget. Benar kata Yanto, dia cakep banget, ganteng malah. Aku berdiri dibelakang cowok itu, tidak tau apa yang harus aku lakukan. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiranku untuk berbalik dan pergi meninggalkan cowok itu. Ya, aku memutuskan untuk tidak menemui dia.
Baru saja aku hendak membalikkan badan, bermaksud masuk kembali ke kantor, handphoneku menjerit dan saking kagetnya aku langsung pencet tombol answer bukannya reject, kontan saja cowok itu berbalik dan dia langsung melihatku.
“Hai…kamu pasti ami ya?” Mati aku. Sok tau banget sih ini orang, aku kan belum sebutin nama, kok udah main tebak aja, sialan. “Bu..bukan, aku bukan ami..” jawabku mengelak. Eh, cowok itu malah ketawa sambil menunjuk handphone ku .
Baru saja aku hendak membalikkan badan, bermaksud masuk kembali ke kantor, handphoneku menjerit dan saking kagetnya aku langsung pencet tombol answer bukannya reject, kontan saja cowok itu berbalik dan dia langsung melihatku.
“Hai…kamu pasti ami ya?” Mati aku. Sok tau banget sih ini orang, aku kan belum sebutin nama, kok udah main tebak aja, sialan. “Bu..bukan, aku bukan ami..” jawabku mengelak. Eh, cowok itu malah ketawa sambil menunjuk handphone ku .
“Itu suara kamu kan di telpon, Ha ha ha ha, ami…ami”. Aduh, tolol banget sih aku, ya jelas lah ketahuan, soalnya waktu aku ngomong, aku kan pegang handphone yang nyala, dasar tolol. Mukaku langsung merah menahan malu, sangat malu. Parahnya cowok itu masih saja senyum-senyum, lalu kemudian dia mengulurkan tangan dan berkata, “Aku Giri, sorry ya, aku dateng kepagian. Kebetulan pagi ini aku libur, dan janji ketemuan sama temen juga batal, soalnya temenku ada kerjaan ngedadak. So…di Bandung deh aku sekarang, ketemu sama Ami” selama dia bicara dia terus saja memegang tanganku. Kurang ajar banget ini orang, belum apa-apa sudah bikin aku ge-er.
“Oh..ehm..gpp, udah tanggung, masa aku suruh kamu balik lagi ke Jakarta, gak mungkin kan? Tapi ngomong-ngomong, tanganku lepasin dulu !” pintaku.
“Ups! Sorry !” refleks dia melepaskan tanganku sambil nyengir, lalu katanya lagi, “Aku nggak bisa lama, enggak enak, kamu masih kerja kan? Tapi nanti aku kesini lagi jemput kamu, ga apa-apa kan? Kamu pulang jam berapa?” Terima kasih Tuhan, akhirnya dia akan menyingkir juga meskipun nanti dia balik lagi. Minimal aku punya waktu bernafas lega lebih lama dan aku tidak perlu menyuruhnya masuk ke ruang tamu kantor.
“Aku pulang jam 4, sebenarnya jam 2 sih kalau Sabtu, cuma aku mau mau beresin sesuatu dulu”, jawabku sambil membalas anggukan salah seorang karyawan tetangga kantor yang kebetulan lewat. “Sekarang kamu mau kemana?” tanyaku basa-basi.
“Mau ke Pajajaran dulu”, jawab Giri dengan tangan kiri sibuk menarik jaket dari sandaran kursi mobil dan mengenakannya. “Kerumah saudara, dia marah-marah karena aku jarang sekali kesini, sekalian ikut tidur dulu sebentar, biar nanti ketemu kamu udah seger lagi.” Jawab Giri menggodaku. Mau tak mau aku tersenyum juga.
“Oh, ok salam buat saudara kamu ya, aku masuk dulu ya, mau siaran” dengan senyum manis Giri mengangguk, “ok, aku pergi dulu, jangan lupa, jam 4 aku jemput, ok?” aku mengangguk mengiyakan walaupun aku sendiri belum yakin, apakah aku akan menepati janji atau malah berusaha kabur lagi.
Setelah dia pergi, aku lalu siaran sampai jam 12 siang. Terus terang saja, siaranku sedikit kacau karena pikiranku terganggu oleh janji ketemu nanti sore. Akhirnya kuputuskan untuk minta saran sohibku, Yano. Yano adalah salah satu staff team program di kantor yang kebetulan juga sohib ku.
“Aku bingung Yan, aku temuin lagi nggak ya? Nggak PD euy. Mending aku pulang aja ya? Aku lupain aja deh si Giri.” Mulut Yano yang sedang sibuk mengunyah kacang telur langsung terhenti dan dengan mimik muka tak percaya dia manatapku seperti menatap mahluk aneh.
“Apa???? Yang bener aja? Eh, orang lain tuh setengah mati pengen dapet cowok cakep nan rupawan dengan usaha keras dan penuh semangat juang 45. Ini cowoknya datang sendiri kamu malah mau kabur, gimana sih?” Yano berhenti sejenak untuk meneruskan kembali pekerjaan mulia - versi Yano- ngemil kacang nya yang terhenti, lalu lanjutnya, “please deh, jangan bodoh !”
“Tapi yan....”, Yano langsung memotong bantahanku, “nggak ada tapi, sekarang juga, aku antar kamu ke salon, creambath dulu, biar peredaran darah di kepala dan badan sedikit segar, and kamu bisa berpikir jernih” kata Yano.
Jam empat kurang lima, aku berdebar-debar menunggu Giri, walaupun sekarang tidak seragu tadi. Benar apa kata Yano, aku agak sedikit fresh dan kelihatan manis dengan rambut teratur sehabis creambath. Handphoneku bunyi. Waktu kulihat dilayar hp, nomornya asing. Nomor siapa ini? Tadinya aku tidak mau angkat, tapi bunyinya terus menggangguku. Tak apalah kuangkat saja, siapa tau orang penting.
"Halo..., siapa nih?” sesaat tak ada jawaban, kemudian aku dengar suara helaan nafas berat dan ketika detik berikutnya dia bicara, aku hampir saja pingsan mendengar suara seseorang yang sangat aku benci, dan pernah sangat aku cintai, Firdaus Arya Winanta.
******
bersambung