(Tidak percaya diri, itu yang dirasakan Ami begitu melihat fisik cowok bernama Giri. Bekal keyakinan dari sahabatnya pun tiba-tiba buyar karena telepon Daus. Ami benar-benar tak mengerti, dari mana Daus tau nomor handphonenya dan apa sebenarnya yang diinginkan lelaki dari masa lalunya itu?)
Dari mana Daus tahu nomorku? Padahal seingatku aku sudah berpesan kepada semua orang dikantor ini untuk tidak memberikan nomorku pada orang asing, siapapun itu. Apalagi Daus, dia adalah orang dari masa lalu, bahkan waktu dia tau aku kerja disini dan datang menanyakan aku ke Ita saja aku sudah kaget bukan main.
“Ami…aku mau ketemu, please..! sebentar saja.” Suara Daus makin jelas terdengar, membuatku kembali merasa perih.
“Dari mana kamu tahu nomorku dan tempat kerjaku?” tanyaku ketus. “Aku telpon ke rumah”, Daus berhenti, terdengar helaan nafas berat, berat sekali seperti merasa capek, lalu kembali Daus berkata, “aku bilang sama adik kamu aku teman SMA kamu, dan perlu nomor kamu buat data acara REUNI”. Brengsek, dasar bangsat. Pintar benar dia mencari alasan. Terang saja adikku mau memberikan nomor handphone dan kantorku karena berpikir bahwa ini penting.
“Apa sih mau kamu?” emosiku terpancing. Dengan nada putus asa Daus menjawab, “Mi, aku pengen ketemu kamu, aku ingin menjelaskan semuanya, tolong beri aku waktu sedikit saja !” dia memelas. Lelaki itu memelas meminta waktuku, tapi terlambat.
“Apa lagi yang perlu dijelasin? Aku kira semuanya sudah jelas, apalagi yang mau kamu omongin ke aku?” jawabku masih dengan nada ketus.
“Ami, kamu perlu tau, tiga tahun bukan waktu sedikit mencari kamu. Setiap aku telepon ke rumah kamu, mereka bilang nggak tau.” Memang seluruh keluarga sudah aku suruh untuk tutup mulut kepada setiap orang tentang nomor pribadi dan dimana aku kost dan kerja, dengan alasan aku tidak mau diganggu.
“Ami, aku benar-benar minta maaf dengan kejadian di kost-anku dulu, aku tidak bermaksud menyakiti kamu. Memang aku tau aku salah, tapi bukan maksudku untuk serius….” Daus mulai bingung mencari kata-kata, “waktu itu, aku cuma tidak mau Arif meledekku karena sebelumnya aku pernah bilang bahwa aku tidak suka cewek tomboy, aku tidak mau ketahuan pacaran sama kamu karena aku malu dengan kata-kataku sendiri,” Daus berhenti, dia terdiam.
“Sekarang kamu nggak perlu malu lagi, aku sudah bukan pacar kamu, toh kita juga pacarannya hanya semalam” kataku pedas.
“Ami ! Aku menyesal, sampai sekarang aku tidak pernah bisa melupakan kejadian itu, aku berdosa. Kalau saja kamu tau, waktu itu Arif marah sekali, dia bilang aku cowok pengecut dan tidak pantas untuk dijadikan teman. Dia sangat marah”. Aku tertegun, Arif marah? Wow, ternyata cowok itu hebat juga.
“Aku akui, aku memang pengecut, aku pengecut karena tidak mau jujur, aku berbohong hanya karena mempertahankan gengsi akibat kata-kataku sendiri. Maafin aku mi, aku mohon..!” Entah kenapa ada sedikit kelegaan, di sisa rasa sakit hatiku. Apakah ini tanda aku masih sayang pada Firdaus? Aku tidak tau, tapi ada rasa haru waktu aku mendengarnya minta maaf, dan aku tau permintaan maafnya tulus. Aku yakin.
“Aku maafin kamu. Sudahlah, itu sudah lama berlalu, tidak ada yang perlu diungkit lagi, anggap aja semuanya sudah selesai, bereskan?” tanpa sengaja mataku melirik ke jam dinding dan tiba-tiba panik karena waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore.
“Beres? Setelah aku berusaha menemui kamu dan belum pernah berhasil, sekarang harus aku anggap beres?”
“Lalu maumu apa ?”
“Ami, aku sayang kamu” Oh Dewa Amor, datang di waktu yang salah. “Ami aku nggak bohong. Aku mencari kamu 3 tahun ini selain untuk minta maaf juga untuk meyakinkan kamu kalau aku benar-benar menyayangi kamu. Please…! Beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku dulu” kepalaku tiba-tiba pusing. Aku menyesal, kenapa tadi aku mengangkat telpon dari nomor ini kalau jadinya akan membuatku tersudut lagi dalam pilihan sulit.
“Daus, aku mau pergi, kita ngomong lain waktu saja ya? Lagian mungkin kamu lagi kurang sehat, jadi ngomongnya ngaco. Mendingan kamu istirahat aja deh ya? Bye”. Tanpa pikir panjang aku langsung menutup telepon. Aku tidak peduli bagaimana perasaan daus, yang penting adalah bagaimana aku bisa menghindar dari dia untuk sementara waktu. Aku tidak mau pertemuanku dengan Giri terganggu dengan pikiran dipenuhi Daus.
Segera saja kubereskan berkas kantor di meja, setelah kuterima sms dari Giri yang isinya mengatakan dia sudah menungguku diluar. Lalu dan untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan, aku mematikan handphone.
“Cieee, suit tu wiiiw, rambutnya bagus, habis nyalon ya? Aku jadi tersanjung nih, kamu dandan buat aku?” kurang ajar, cowok ini membuatku tak bisa manjawab.
‘Ih, kege-eran, aku creambath biar rambutnya enggak rontok.” Aku mengelak.
“Iya deh non. Ok, kita mau kemana nih sekarang?”
“Terserah kamu” terus terang, aku tidak punya ide sama sekali.
“Ok, kalau gitu kita makan aja deh, kebetulan aku udah laper lagi nih, he he”. Kebetulan aku juga memang lapar, dari tadi enggak sempat makan, soalnya yang dipikirin cuma rasa minder, ditambah lagi dengan persoalan Daus.
“Tapi kamu keberatan nggak kalo saudaraku ikut? Soalnya aku sudah janji mau kenalin kamu? Boleh kan? Dia penasaran banget pengen liat kamu” Celaka ! Apalagi ini? Pake acara perkenalan segala.
“Emang kamu ngomong apa tentang aku sama saudara kamu?” Aku mulai mencium bau yang tidak beres.
“He he he, aku bilang sama dia , aku ke Bandung mau nemuin calon istri”
******
bersambung