(Ami bingung, dia tidak menduga kalau Giri, cowok yang dikenalkan temannya lewat telepon nekat datang secepat itu. Padahal Ami merasa tidak siap untuk menerima kedatangan seseorang yang baru)
Hiiiih, cuaca dingin pagi ini membuatku tenggelam ke dasar tempat tidur, mencari kehangatan pagi yang rasanya sudah beberapa minggu ini enggan muncul. Yang ada hanya udara dingin, dingin dan dingin. Untuk menarik selimut supaya aku mau beranjak turun, rasanya adalah hal luar biasa berat yang harus kulakukan. Bayangkan, pagi dengan cuaca agak mendung tinggal menunggu hitungan menit saja untuk menanti turunnya hujan, adalah pagi yang paling enak untuk dilewatkan dengan tidur berbalut selimut hangat. Hm..dunia serasa milik pribadi.
Diluar cahaya mentari sepertinya malas untuk menampakan diri, padahal semua orang pasti sedang menunggu hangatnya sinar raja galaxy ini. Duh, malasnya bangun pagi, seandainya saja hari ini libur, pasti aku lebih memilih meneruskan mimpi dari pada repot-repot mandi. Tapi hari ini aku kan harus siaran jam 10 pagi, belum lagi janji telepon narasumber dan janji-janji lainnya di kantor. Semuanya harus sudah beres jam 4 sore, karena aku ada janji ketemu sama Giri jam 7. Giri !!!! Begitu teringat nama itu aku hampir saja jatuh saking kerasnya meloncat dari tempat tidur.
Mandi, aku harus mandi, biar segar, dan cantik. Tak mungkin aku ketemu Giri dengan penampilan seadanya.
Untung saja mandiku hanya 10 menit, bahkan kurang, karena hujan begini menurutku tak baik berlama-lama di kamar mandi yang hampir menyamai lemari es. Selesai mandi aku coba sedikit dandan, pilih baju terbaik walaupun ujung-ujungnya semuanya kembali numpuk diatas kasur karena aku merasa tak satupun diantara baju-baju itu yang pas buatku, malah jadi kelihatan seperti badut.
Akhirnya setengah putus asa aku kembali ke baju favoritku, T-Shirt abu-abu tua dipadu celana jeans plus sepatu teplek. Sebodo amat dengan komentar Giri nanti.
“Mi, tadi ada yang nyariin…!” baru saja aku melangkahkan kaki dikantor, Ita sudah menghadang di meja front office. “Dia bilang katanya mau kesini lagi nanti siang, namanya Firdaus”.
Duarrr !!!! seperti mendengar suara petasan, mataku hampir saja melompat keluar, tapi untung saja aku bisa menjaga keseimbangan wajah, hanya sayang sekali, Ita keburu mencium rona tidak beres diwajahku.
“ Kenapa? Kok kaya yang kaget?” Tanya Ita curiga. Aku tak langsung mejawab karena bingung. Mendengar namanya saja rasanya aku sudah ingin marah, apalagi kalau bertemu. Untuk apa orang itu datang lagi? Apa nggak cukup dia menyakitiku dan membuat hatiku porak poranda?
“Haloooooo, Ami…????” Aku tersadar dan menjwab pertanyaan Ita , “Ee..Ta, bilangin aja aku ga masuk hari ini, ok? Thank you.” Ita melongo dan mulutnya siap mengucapkan sesuatu, namun dering telpon di meja FO menyelamatkanku dari pertanyaan ita. Oh Tuhan, syukurlah aku datang lebih lambat.
Firdaus Arya Winanta. Nama itu sudah kubuang jauh, kenapa sekarang datang lagi? Aku sudah ingin terbebas dari kenangan buruk bersamanya. Masih kuingat bagaimana getirnya aku saat itu, saat suatu siang aku mampir untuk mengembalikan jam tangan Firdaus yang ketinggalan dirumah. Waktu itu aku hampir saja mengetuk pintu kamar kost-annya Daus - paggilan sayangku untuknya - saat kudengar suara yang sangat kukenal tertawa-tawa bersama Daus.
“Bener nih kamu nggak ada apa-apa sama si Ami?” suara Arif terdengar meminta penegasan.
“Asli, aku enggak ada apa-apa. Kira-kira aja lah bro…aku pacaran sama Ami? Ha ha ha ha ha ha..cewek tomboy begitu? Gak mungkin. Ok lah, aku emang suka sama dia karena dia aktif, supel, pokonya nyenengin deh. Tapi kalo aku harus jadi pacarnya, nanti dulu deh. Sorry, bukan tipe ku !” lalu Firdaus tertawa.
Lututku langsung lemas, tanpa bisa kutahan aku jatuh terduduk diluar pintu kamar kost. Sadar ada orang diluar, Firdaus dan Arif langsung membuka pintu, dan wajah Firdaus langsung pucat begitu melihatku, seperti maling ketahuan satpam.
“Ami…kamu dari tadi? Kok gak masuk? Kamu kenapa?” dengan panik dia mambantuku bangun dan membimbingku masuk, tapi dengan halus kutepiskan tangan Daus dan berkata, “Enggak kok, aku baru saja datang, dan nggak sengaja kakiku kesandung pot bunga ini. Oya, nih aku Cuma mau ngembaliin jam tangan kamu, tadi malem ketinggalan dirumahku.” Kataku sedikit bergetar karena menahan supaya airmataku tidak turun. Aku tidak mau membuatnya senang dengan memperlihatkan diri bahwa aku terluka.
“Wow, jadi tadi malem Firdaus kerumah kamu? Pantesan aku telpon enggak diangkat-angkat, he he....Rupanya kalian lagi asyik kencan ya..? Jangan-jangan sekarang juga janjian nih, aku jadi nggak enak.” Arif melirik Firdaus penuh arti lalu kembali berkata, “Masuk dong Mi,..aku sudah mau pulang kok !”
“Nggak makasih, aku nggak lama kok. Aku Cuma mau kembaliin jam tangan. Oya Daus, mulai hari ini sebaiknya kamu tidak usah datang lagi kerumahku atau jalan bareng lagi. Aku enggak pantes buat kamu, aku bukan tipe mu kan?” akhirnya terucap juga kata-kata yang aku tahan.
“Kok kamu ngomong begitu sih? Mi, kamu tadi denger obrolan aku sama Arif ya? Mi, aku Cuma bercanda, sumpah !” Firdaus panik, sementara kulihat Arif melongo, terdiam mematung. Mungkin dia baru sadar apa yang baru saja terjadi.
‘Nggak apa-apa. Memang bener kok aku enggak pantes buat kamu. Aku bukan tipe-mu. Aku cuma nona rata-rata yang tomboy dan tolol..” aku menghela nafas lalu meneruskan kata-kataku ..”Aku hanya gadis bodoh yang percaya begitu saja waktu tadi malem kamu bilang bahwa kamu sayang sama aku, cinta sama aku. Tapi ternyata kamu penipu.” Aku mengakhiri semua kata-kataku dengan tetesan air mata yang tak bisa kutahan lagi. Lalu cepat aku membalikkan badan dan lari dari kedua cowok yang berteriak-teriak memanggilku.
Lagu pelangi dari Radja menyadarkan aku dari lamunan masa lalu. Kuangkat handphone ku, dan dari seberang sana kudengar suara Giri.
“Hai…Mi, aku udah sampe di Bandung, nih udah didepan kantor kamu”.
*******
Bersambung