(Firdaus meminta Ami kembali padanya. Sakit, perih namun haru. Tapi Ami tak mau pikiran tentang Daus mengganggu pertemuannya dengan Giri. Dan betapa terkejutnya saat Giri mengatakan bahwa dia mengatakan pada kerabatnya bahwa Ami adalah calon istrinya).
Aku masih terkaget-kaget dengan apa yang Giri katakan. Bisa-bisanya dia bilang sama saudaranya bahwa aku ini calon istrinya. Apa enggak salah? Atau otaknya sedikit beku karena udara Bandung yang dingin hingga saluran darah diotaknya sedikit tersumbat?
“Kamu jangan gila, nanti kalau dia pikir kamu serius gimana?” tanyaku was-was.
“Aku memang serius”. Meletus balon hijau deh. Kejutan apalagi yang kudapat hari ini? Tadi pagi aku dilanda minder dan sekarang aku melambung keawang-awang dengan omong kosong orang yang baru kukenal 2 hari.
“Berisik ah, becandanya enggak lucu”. Aku mencoba menghentikan pembicaraan, tapi Giri pantang menyerah.
“Kamu enggak tau ya? Sebelum ke Bandung, aku tanya sama Toma dan dia banyak cerita tentang kamu. Menurutku apa yang Toma bilang dan yang aku dengar dari cara kamu bicara, semuanya cocok. Maksudku kamu emang orangnya asyik, dan simple, terus terang saja aku suka orang seperti kamu. Dan aku memang bukan cari pacar, tapi cari istri.” Lagi-lagi dengan kalemnya dia menjawab.
Kalau saja ada kaca pasti aku bisa melihat mukaku berubah memerah, mungkin semerah kepiting rebus. Aku yang tomboy ini, yang creambath juga karena terpaksa, katanya orang yang cocok buat dia. Apa yang sedang terjadi di dunia pejantan Indonesia sekarang ini?
“Aku cocok buat kamu? Halo..cowok, enggak salah liat nih? Aku hampir mirip cowok, cuma rambut aja yang sekarang agak panjang, mana mungkin kamu suka sama aku? Aku hanya punya suara bagus, bukan body yang bagus.” Aku berhenti sesaat membetulkan resleting jaketku yang sedikit terbuka, karena udara dingin mulai menggangu.
“kamu tau nggak? Aku sebenarnya minder ketemu kamu, kamu ganteng, ideal buat jadi cowok yang dikejar banyak cewek, sementara aku? Aku cuma cewek biasa yang nggak punya kelebihan apapun”. Aku bertutur seperti ustadzah yang berusaha mengembalikan pikiran orang dari jalan sesat.
“Kok ngomong begitu sih? Menurutku kamu manis. Memangnya apa yang salah kalau aku suka sama kamu? Hanya karena aku baru ketemu?" Giri menjawab dengan kening berkerut, lalu dia meneruskan, “kalaupun aku ketemu kamu sebelum mendengar suara kamu, aku yakin aku bakal suka sama kamu”. Aku siap membantah lagi, namun tak jadi karena mobil keburu berhenti, kami sudah sampai di Pajajaran, tempat sepupunya Giri.
Belum sempat aku turun seorang cowok cakep bahkan cenderung cantik karena cakepnya langsung menghampiri kami.
“Hai, kamu pasti Ami, ehm….memang bener, manis. Persis seperti kata Mas Giri, aku Adam, sepupunya Mas Giri”. O ow..! kok kemayu.
“Hai Adam…” aku balik menyapa tanpa banyak komentar karena masih terpesona dengan gaya Adam yang 180 derajat adalah kebalikanku.
“Ayo Dam, pergi sekarang”, Giri mengajak tanpa keluar dari mobil, katanya biar cepat berangkat.
“Tunggu bentar !” seperti bingung, Adam terdiam sesaat, kemudian ia menatap Giri dengan sorot meminta, “Mas, aku boleh bawa temen enggak? Yang tadi pagi datang itu lho, enggak enak kalo ditinggal. Kalo enggak boleh, ya enggak apa-apa, berarti aku enggak ikut”. Adam menunduk sambil mempermainkan kuku jarinya. Ya ampun, dia merajuk.
Giri tertawa, “ya udah ajak aja, tapi cuma makan bareng, acara selanjutnya kamu sama temanmu enggak boelh ikut, ok?” jawab Giri sambil mengedipkan mata kearahku. Ih apa maksudnya si Giri ini.
Kesunyian melanda aku dan Giri saat menunggu Adam mengajak temannya yang masih didalam rumah, aku terpaksa mengalihkan perhatian melihat-lihat pekarangan rumah Adam yang tertata rapih dan asri. Hm..rumah yang cantik.
“Sorry ya mi, temennya Adam ikut”, Giri memecahkan kesunyian, “tadinya aku juga enggak berniat ngajak adam, tapi kasihan, dia lagi patah hati tuh. Minggu kemarin dia baru diputusin cowoknya”. Mataku yang dari tadi menatap ke pekarangan langsung menoleh dengan cepat menatap Giri. Giri sepertinya mengerti apa yang aku pikirkan.
“Iya, Adam gay.” berarti benar dugaanku saat pertama kali melihatnya.
“Pantes…dia lembut banget..” aduh, dasar mulut bocor, kata-kata itu meluncur begitu saja, lalu cepat-cepat kuralat, ‘eh, sorry, aku enggak bermaksud…” Giri langsung memotong.
“It’s ok, tenang aja.” Kami diam lagi. Tiba-tiba aku merasa curiga, kutatap Giri dengan sorot mata yang membuat Giri melihatku dengan pandangan sedikit tersinggung tapi akhirnya dia tertawa, “Bukan ! aku bukan gay, kalau itu yang kamu pikirkan”, aku menghembuskan nafas lega, sementara Giri menahan senyum. Penasaran aku kembali bertanya, “terus yang sekarang diajak ini pacarnya yang baru?” Giri tersenyum.
“Bukan, dia temen deket mantan pacarnya, mungkin Adam pengen ngorek keterangan dari dia, kenapa cowoknya mutusin dia”. Giri menoleh kearah pintu rumah, “ itu dia temennya Adam”.
Aku terpekik begitu melihat lelaki yang muncul bersama Adam. Gusti Nu Agung, itu kan Arif. Aku melirik Giri, dengan terbata-bata aku bertanya dengan harapan jawaban yang aku dengar bukanlah jawaban yang ingin kudengar.
“Siapa nama pacar Adam?” Giri memandangku dengan pendangan penuh tanda tanya, tapi aku tak peduli. Aku bertanya lagi, dan Giri menjawab, ‘namanya Firdaus. Kenapa?” Sepi, aku terdiam.
Oh Tuhan, Firdaus Gay. Dadaku langsung di dera rasa sesak yang amat sangat, menahan turunnya air mata. Jangan, kumohon airmata, jangan turun ke pipiku. Seandainya saja aku bisa, ingin sekali aku lari keluar dari mobil dan pulang. Tapi Giri melihat mataku memerah.
“Kenapa ami? hey..kenapa?” Giri memegang bahuku, sepertinya dia tau aku terguncang mendengar nama yang baru saja dia sebutkan. ‘Kamu jangan takut, bilang aja, kenapa?” aku menatap Giri, lama. Dengan susah payah, terucap juga kalimat itu, “Firdaus, 3 tahun yang lalu dia pacarku, dan tadi pagi, dia meneleponku memintaku kembali padanya”. Dan pecahlah kedua tanggul yang menahan derasnya air mataku. Lalu tangan-tangan kekar giri menarikku kedalam pelukannya. Aku sempat ragu, tapi aku mendengar pemilik tangan itu berkata, “menangislah Ami, menangislah sepuasmu.” Giri memelukku. Tangan kirinya memelukku begitu erat, entah dimana tangan kanannya, namun kusadari pada saat bersamaan mobil pun bergerak meninggalkan rumah Adam.
Aku masih mendengar sayup-sayup suara Adam memanggil Giri dengan bingung karena Giri meninggalkan Adam dan Arif begitu saja di depan rumah tanpa permisi.
Dulu pada saat seperti ini, aku akan menangis sendirian, kini aku punya bahu yang siap menerima jatuhnya air mataku. Terimakasih Toma, kau adalah teman terbaikku. Lelaki pilihanmu untukku mampu membuatku terlindung saat aku terjatuh.
******
TAMAT